Thursday, January 25, 2018

Jasa Sumur Bor Sabu Raijua

Pulau Sabu juga dikenal dengan sebutan Sawu atau Savu. Penduduk di pulau ini sendiri menyebut pulau mereka dengan sebutan Rai Hawu yang artinya Tanah dari Hawu dan orang Sabu sendiri menyebut dirinya dengan sebutan Do Hawu. Nama resmi yang digunakan pemerintah setempat adalah Sabu. Masyarakat Sabu menerangkan bahwa nama pulau itu berasal dari nama Hawu Ga yakni nama salah satu leluhur mereka yang dianggap mula-mula mendatangi pulau tersebut.
Menurut sejarah, nenek moyang orang Sabu berasal dari suatu negeri yang sangat jauh yang letaknya di sebelah Barat pulau Sabu. Pada abad ke-3 sampai abad ke-4 terjadi arus perpindahan penduduk yang cukup besar dari India Selatan ke Kepulauan Nusantara. Perpindahan penduduk itu disebabkan karena pada kurun waktu itu terjadi peperangan yang berkepanjangan di India Selatan. Dari syair-syair kuno dalam bahasa Sabu dapat diperoleh informasi sejarah mengenai negeri asal leluhur Sabu. Syair-syair itu mengungkapkan bahwa negeri asal orang Sabu terletak sangat jauh di seberang lautan di sebelah Barat yang bernama Hura. Di India terdapat Kota Surat di wilayah Gujarat Selatan yang terletak di sebelah Kota Bombay, Teluk Cambay, India Selatan. Kota Gujarat pada waktu itu sudah terkenal sebagai pusat perdagangan di India Selatan. Orang Sabu tidak dapat melafalkan kata Surat dan Gujarat sebagaimana mestinya, sehingga mereka menyebutnya Hura. Para pendatang dari India Selatan ini menjadi penghuni pertama pulau Raijua di bawah pimpinan Kika Ga dan saudaranya Hawu Ga. Keturunan Kika Ga inilah yang disebut orang Sabu (Do Hawu). Setelah kawin mawin mereka kemudian menyebar di Pulau Sabu dan Raijua dan menjadi cikal bakal orang Sabu.
Pembagian wilayah di Sabu terjadi pada masa Wai Waka (generasi ke 18). Pembagian ini dibuat berdasarkan jumlah anak-anaknya yang akan dibagikan wilayahnya masing-masing yakni:
  • Dara Wai mendapat wilayah Habba (Seba)
  • Kole Wai mendapat wilayah Mehara (Mesara)
  • Wara Wai mendapat wilayah Liae
  • Laki Wai mendapat wilayah Dimu (Timu)
  • Dida Wai mendapat wilayah Menia
  • Jaka Wai mendapat wilayah Raijua
Pembagian ini telah menyebabkan terbentuknya komunitas genelogis-teritorial, dimana suatu rumpun keluarga terikat pada pemukiman tertentu. Karena rumpun ini berkembang semakin besar maka dibentuk suatu sub rumpun yang disebut Udu yang dikepalai oleh seorang Bangu Udu. Di Habba (Seba) terdapat 5 Udu yang nantinya akan terbagi lagi menjadi Kerogo-Kerogo. Di Sabu dan Raijua seluruhnya terdapat 43 Udu dan 104 Kerogo.
Diyakini terdapat pengaruh Majapahit yang pada abad ke 14 sampai awal abad ke 16 berhasil menguasai dan menyatukan nusantara terhadap kehidupan masyarakat Sabu. Beberapa bukti tersebut dapat dilihat pada :
  1. Mitos (cerita rakyat) yang memberikan penghormatan terhadap Raja Majapahit sehingga muncul cerita bahwa Raja Majapahit dan istrinya pernah tinggal di Ketita di Pulau Raijua dan Pulau Sabu.
  2. Ada kewajiban bagi setiap rumah tangga untuk memelihara babi yang setiap saat akan dikumpul untuk persembahan kepada Raja Majapahit.
  3. Ada batu peringatan untuk Raja Majapahit yang disebut Wowadu Maja dan sebuah Sumur Maja di wilayah Daihuli dekat Ketita.
  4. Setiap 6 tahun sekali ada upacara yang diadakan oleh salah satu Udu di Raijua, Udu Nadega yang diberi julukan Ngelai yang menurut cerita adalah keturunan orang-orang Majapahit.
  5. Motif pada tenunan selimut orang Sabu yang bergambar Pura.
  6. Di Mesara ada desa yang bernama Tana Jawa yang penduduknya mempunyai profil seperti orang Jawa dan ada tempat di dekat pelabuhan Mesara yang disebut dengan Mulie yang diambil dari bahasa Jawa Mulih yang berarti pulang                                                               

  7. sumber Pustaka :http://saburaijuakab.go.id/2016/index.php/en/profil-daerah/sejarah

Jasa Sumur Bor Rote Ndao

Kabupaten Rote Ndao merupakan kabupaten yang terletak paling selatan di Negara Republik Indonesia dan merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2002 dan memiliki luas wilayah 1280,10 km2


Jasa Sumur Bor Malaka

 Profile kabupaten Malaka

     Pusat pemerintahan Kabupaten Malaka berada di Betun. Berdasarkan data Kecamatan dalam Angka tahun 2014 tercatat bahwa jumlah penduduk Kabupaten Malaka adalah 171.079 jiwa.

Batas Wilayah
·         Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Naneut Duabesi dan Kecamatan Raimanuk Kabupaten Belu
·         Sebelah selata berbatasan dengan Laut Timor
·         Sebelah timur berbatasan dengan wilayah Negara Republik Demokratik TimorLeste
·         Sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kecamatan Insana dan Kecamatan Biboki Tampah Kabupaten Timor Tengah Utara


Jasa sumur Bor Atambua

 Profile Kabupaten Belu

Kabupaten Belu adalah sebuah kabupaten di provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Kabupaten ini beribu kota di Kota Atambua. Memiliki luas wilayah 1.284,94 km², terbagi dalam 12 kecamatan, 12 kelurahan dan 96 desa, termasuk 30 desa dalam 8 kecamatan perbatasan.
Nama Nama Lain: Rai Belu, Tasifeto, Fialaran-Lamaknen, Manuaman Lakaan.
Kata "Belu" menurut penuturan para tetua adat bermakna "persahabatan" yang bila diterjemahkan secarah harafiah ke dalam bahasa Indonesia berarti "teman" atau "sobat". Ini merupakan makna simbol yang mendeskripsikan bahwa pada zaman dahulu para penghuni Belu memang hidup saling memperhatikan dan bersahabat dengan siapa saja. Namun secara politis oleh Pemerintah Belanda, Belu dibagi menjadi dua bagian yaitu Belu bagian utara dan Belu bagian selatan, yang hingga sekarang masih terasa pengaruhnya.Batas
Wilayah Kabupaten Belu berbatasan dengan:Utara: Selat Ombai,Selatan: Kabupaten Malaka
Barat: Kabupaten Timor Tengah Utara,Timur: Timor Leste
Pembagian daerah Administratif
*.1. Kecamatan Lamaknen Ibukota di Weluli
*.2. Kecamatan Lamaknen Selatan Ibukota di Aubulak
*.3. Kecamatan Raihat Ibukota di Haekesak
*.4. Kecamatan Lasiolat Ibukota di Lahurus
*.5. Kecamatan Tasifeto Timur Ibukota di Wedomu
*.6. Kecamatan Kota Atambua Pusat
*.7. Kecamatan Kota Atambua Barat
*.8. Kecamatan Kota Atambua Selatan
*.9. Kecamatan Kakuluk Mesak Ibukota di Atapupu
*.10. Kecamatan Tasifeto Barat Ibukota di Kimbana
*.11. Kecamatan Nanaet Duabesi Ibukota di Laktutus
*.12. Kecamatan Raimanuk Ibukota di Mandeu.
Geografi
*.Gunung Tertinggi                          : Lakaan.
*.Bukit-bukit penting                        : Lidak, Mandeu.
*.Pelabuhan Laut Terpenting           : Atapupu.
*.Bandara Terpenting                      : A.A. Bere Talo di Haliwen.
*.Pintu Imigrasi Terpenting              : Mota-Ain, Turiskain, Lakmaras, Laktutus.
Budaya
*.Kerajaan Terpenting: Loro Bauho-Fialaran dan Lamaknen.
*.Gereja Tertua: Atapupu, Lahurus, Halilulik dan Katedral Atambua serta Nualain.
*.Tarian Asli Belu: Likurai, Tebe dan Bidu Kikit.
*.Bahasa Daerah Terpenting: Tetun, Bunak, Kemak dan Dawan R.
*.Tempat Wisata Gunung: Ksadan Takirin, Ksadan Fatulotu, Gunung Lakaan, Fulan Fehan, Air Terjun Siata Mauhalek, Anin Nawan, Bukit Mandeu, Bukit Lidak, Mataair Lahurus, Mataair Webot Haekesak, Niki Tohe Leten, Kampung Kewar, Air Terjun Weró, Bendungan Haekriit.
*.Tempat Wisata Pantai: Pasir Putih, Kolam Susuk, Teluk Gurita.
*.Lagu Daerah Terkenal: Oras Loro Malirin, Manumutin Torok, Olala, Lolon Gol.
*.Hotel Terkenal: Matahari, Timor, Intan, Liurai, Paradiso, Nusantara 1,2, Klaben.
*.Makanan Terkenal: Ut Moruk, Se'i Babi, Dendeng Sapi, Sambal Tomat Lahurus, Bawang Weluli, Ikan Atapupu, Padi Haekesak, Jagung Bose, Batar Da'an, Tua Mutin.

Sumber pustaka: http://www.belukab. go.id/



Tuesday, January 16, 2018

Jasa Sumur Bor Kefamenanu

 

Air dan Permasalahnya di Kabupaten Timor Tengah Selatan




Pembangunan ekonomi dan lingkungan memiliki keterkaitan dengan pola konsumsi (Giddens, 2001: 612). Meningkatnya kesejahteraan suatu masyarakat berimplikasi pada meningkatnya konsumsi, sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan. Pola konsumsi tidak hanya menguras habis elemen sumber daya alam, akan tetapi berkontribusi terhadap degradasi lingkungan melalui pembuangan limbah produksi dan buangan gas emisi. Masyarakat miskin sebagai kelompok rentan menerima dampak negatif dari kondisi ini karena tidak memiliki akses terhadap sumber daya alam.

Untuk itu perlu mengedepankan prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu pertumbuhan ekonomi secara ideal memperhatikan proses daur ulang sumber daya alam daripada menguras habis, dan meminimalisir tingkat pencemaran (Giddens, 2001: 611). Integrasi pengambilan kebijakan penting untuk menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat dengan kemampuan regeneratif lingkungan hidup (Rogers et al ., 2010: 42).

Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) merupakan kabupaten dengan persentase penduduk miskin urutan kelima dari dari 22 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur (BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2014). Kabupaten TTS, memiliki iklim s e m i a r i d
 menurut klasifikasi Koppen (Kottek et al ., 2006), dengan curah hujan yang rendah antara 1.000-1.250 mm per tahun dan 1.000 – 2.000 mm per tahun.

Dari 32 kecamatan di Kabupaten TTS, hanya 4 kecamatan yang memiliki curah hujan tertinggi 1.855 mm dan terendah 1.203 mm per tahun, sisanya hanya berkisar 900 mm hingga 476 mm per tahun, dengan hari hujan tertinggi 133 hari di Kecamatan Mollo Utara dengan curah hujan mencapai 2.733 mm/tahun dan terendah sebesar 19 hari hujan di Kecamatan Mollo Selatan, (BPS Kabupaten Timor Tengah Selatan, 2014). 

Kabupaten TTS masuk dalam kategori wilayah yang mengalami kekeringan sepanjang tahun, dengan demikian mengalami keterbatasan atau kelangkaan sumber daya air. Delapan puluh enam persen (86%) masyarakat di Kabupaten TTS menggunakan mata air untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan domestik, sisanya menggunakan sumur atau sungai. Masyarakat harus berjalan 3-4 km untuk mendapatkan 30-40 liter air bersih.

Waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan air berkisar antara 3-4 jam dengan antrean panjang hanya untuk mendapatkan 40 liter air dari mata air, terutama di pagi hingga siang hari. Ketika sumber air utama mengalami kekeringan, maka masyarakat menggali di sekitar badan sungai atau di sungai yang kering dengan kedalaman 1-1,5 meter untuk mendapatkan air, atau menggali di lokasi lain yang menurut mereka akan mendapatkan air.

Wilayah di Kabupaten Timor Tengah Selatan memiliki keunikan, yaitu wilayah di bagian utara yang berdekatan dengan Gunung Mutis berlimpah air, seperti di Kecamatan Fatumnasi, Nunbena, Tobu, Mollo Barat, Mollo Utara, dan wilayah berdekatan lainnya. Sehingga di wilayah tersebut merupakan penghasil tanaman sayur, buah-buahan dan padi, selain jagung yang masih mendominasi produk pertanian di wilayah Timor Tengah Selatan.

Namun di wilayah bagian selatan mengalami kekeringan sepanjang tahun. Misalnya bulan Juni 2015, tiga kecamatan di Kabupaten TTS yaitu Kualin, Kotolin, dan Amanuban Selatan dilanda kelaparan yang disebabkan karena dalam satu tahun, hujan hanya turun 4 kali sehingga mengalami gagal tanam dan gagal panen. Kondisi kelaparan seperti ini memaksa warga untuk mengonsumsi biji asam, sagu dari batang pohon gewang (sejenis palem), dan jenis makanan lokal lain yang dapat dikonsumsi (Kompas, 13 Juni 2015).

Kelangkaan Air
Definisi dan Konsep Kelangkaan Air Kekurangan air di tingkat global mengindikasikan situasi yang genting karena ketersediaan air tidak dapat memenuhi kebutuhan atau permintaan pada decade mendatang (UNEP, 1999). Ketersediaan air yang terbatas disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk dunia, peningkatan konsumsi yang berimplikasi meningkatnya kebutuhan air berkisar 25% dan 57% (Molle & Mollinga, 2003), baik untuk sektor pertanian, industri, dan air bersih (Mekonnen & Hoekstra, 2011; SIDA, 2005; UNEP, 2012).
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memprediksi bahwa peningkatan jumlah populasi penduduk dunia dari sekitar 7 miliar penduduk menjadi 9,6 miliar pada tahun 2050, dan negara berkembang berkontribusi besar terhadap peningkatan jumlah penduduk (+41%) (Bringezu et al ., 2014).  

Dua faktor lain yang menjadi penyebab meningkatnya kebutuhan air dalam kurun waktu terakhir ini adalah: (1) pertumbuhan penduduk; (2) pertumbuhan industri; dan (3) perluasan atau pengembangan irigasi pertanian (Shiklomanov, 1998; Richter et al ., 2013). Tiga faktor tersebut dapat dirangkum ke dalam dua faktor yaitu  pertumbuhan penduduk dan  aktivitas ekonomi (Shiklomanov, 1993).

Dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk maka akan mendorong peningkatan aktivitas ekonomi yang berimplikasi pada penurunan daya dukung lingkungan, khususnya sumber daya air. Sektor pertanian mengkonsumsi air terbesar yaitu mencapai 85%-90% dari konsumsi global blue water (Lawrence et al. , 2003; Mekonnen & Hoekstra, 2011; Richter e t a l ., 2013; Shiklomanov, 1998; Sullivan, 2002; UNESCO & Earthscan, 2009; UNESCO & WWAP, 2003, 2006; UNESCO, 2012)  dengan demikian air memiliki peran vital dalam penentuan hasil pertanian. 

Fenomena kelangkaan air dikategorikan menjadi dua yaitu permanen dan sementara yang dihasilkan karena faktor lingkungan, aktivitas manusia, atau perpaduan dari dua faktor tersebut (Pereira et al., 2009: 9-13). Menurutnya wilayah arid merupakan kondisi permanen yang dihasilkan oleh alam, di mana kondisi iklim yang menyebabkan ketersediaan sumber daya air sangat minim.

Sedangkan faktor yang dihasilkan dari aktivitas manusia dalam bentuk penggundulan hutan, eksplorasi tambang, perusakan tanah, ekploitasi sumber daya air besar-besaran, berdampak pada kerusakan ekosistem dan menurunnya daya dukung lingkungan dalam bentuk erosi dan intrusi air laut. Permasalahan ini yang kemudian memicu konflik kepentingan antara industri, rumah tangga dan irigasi pertanian.

Kodoatie dan Sjarief (2010) membagi pontensi Cadangan Air Tanah (CAT) berdasarkan pulau di Indonesia seperti pada Tabel 3.1. Dari Tabel 3.1 nampak bahwa potensi air tanah dan luas CAT di kepulauan paling banyak ditemukan di pulau besar, sedangkan pulau kecil memiliki luas CAT yang sempit dengan potensi air tanah yang sedikit, misalnya di wilayah Bali, NTB, dan NTT.

Persoalan kelangkaan air telah meningkat dan menyebar hampir ke seluruh dunia. Richter etal.(2013) mendefinisikan kelangkaan air sebagai menurunnya ketersediaan sumber air tawar, menurunnya jumlah air yang tersisa akibat pemanfaatan oleh manusia dan daya dukung ekologi. Penurunan sumber air tawar sebagai hasil dari konsumsi, ketika sebagian air yang diambil dari sumber air tidak dikembalikan setelah digunakan, sehingga menguras habis sumbernya.

Dengan kata lain air yang digunakan tidak kembali ke aquifer (air bawah tanah) melainkan kembali atau mengalir ke permukaan. Atau air tersebut kembali ke aquifer namun sudah dalam kondisi tercemar. Hal ini yang kemudian berdampak pada kelangkaan air. Sedangkan pendekatan yang dilakukan oleh Molle dan Mollinga (2003) dalam mendefinisikan kelangkaan air lebih pada kendala sebagai faktor penyebab. Menurut mereka tidak mudah seDalam mengukur kelangkaan air, ada lima jenis kendala yaitu: 
P e r t a m a,
Kelangkaan  fisik , yaitu keterbatasan ketersediaan air disebabkan oleh faktor alam. Situasi iklim kering atau semi arid dan padang pasir, air hanya dapat ditemukan terbatas di beberapa sumur dan mata air.

Kedua,
Kelangkaan ekonomi , ketidakmungkinan untuk memenuhi kebutuhan air karena faktor sumber daya manusia yang harus menempuh perjalanan jauh ke sumur atau sumber air terdekat, atau keuangan yang terbatas (membeli air) untuk mendapatkan akses terhadap air.

Ketiga,
Kelangkaan manajerial yang disebabkan oleh sistem tata kelola yang buruk sehingga menyebabkan konsumen tidak mendapatkan pelayanan air secara memadai.

Keempat,
Kelangkaan institusional , di mana lembaga gagal dalam memfasilitasi permintaan dan distribusi air. Berkurangnya air karena faktor lingkungan tidak diantisipasi dengan memanfaatkan teknologi dan inovasi; dan. Kelima, k elangkaan politik , adalah kasus dimana seseorang atau masyarakat cara tegas dan eksplisit mendefinisikan kelangkaan air .

Strategi Menghadapi Kelangkaan Air di TTS
Budaya pemanenan air dilakukan oleh masyarakat Timor ketika musim penghujan tiba melalui beberapa cara, pertama dengan memanfaatkan jatuhnya air hujan dari atap rumah yang ditampung di bak atau drum, pola ini hanya dilakukan oleh beberapa orang yang rumahnya beratapkan seng (kebanyakan beratapkan alang-alang, daun lontar dan daun kelapa). Kedua , menggunakan bak penampung yang bagian atas menggunakan wadah penampung berbentuk kerucut, yang merupakan bantuan pemerintah dan LSM atau swadaya masyarakat. Bak ini terletak di salah satu rumah warga dan airnya kemudian dipakai oleh beberapa rumah tangga atau keluarga disekitarnya.

Air di bak penampung ini hanya bertahan beberapa minggu selepas berakhirnya musim penghujan. Ketiga , lubang penampung air yang rata-rata sedalam 2-3 meter di rumah masing-masing penduduk. Air dari lubang penampung ini digunakan untuk keperluan ternak dan menyirami tanaman. Keempat , menampung air hujan dengan ember plastik, baskom, atau bejana tanah liat.

Air ini digunakan untuk mandi, cuci, atau membersihkan rumah.  Embung yang dibangun oleh pemerintah merupakan upaya pemanenan air, namun air di dalam embung tidak dapat bertahan lama karena tingkat evaporasi yang tinggi, erosi dan sedimentasi. Ketersediaan air di dalam embung hanya bertahan beberapa bulan saja selepas musim penghujan. Ketika puncak musim kemarau (Oktober-November) banyak embung menjadi kering (BAPPEDA Kabupaten Timor Tengah Selatan, 2014)

Kebutuhan air masyarakat karena pasokan sumber daya air yang dapat dieksplorasi terbatas. Dari kondisi tersebut, rumah tangga menggunakan fasilitas air minum bersama dan umum. Rumah tangga yang menggunakan fasilitas sendiri (privat) untuk pemenuhan kebutuhan air minum hanya sebesar 7,30%, terbatas di wilayah perkotaan.

Curah hujan yang rendah dan karakteristik daerah yang berbeda menyebabkan akses terhadap setiap jenis sumber air berbeda antara rumah tangga di dataran tinggi dan dataran rendah. Rumah tangga di dataran rendah umumnya dekat dengan sumur. Sumur jarang terdapat pada rumah tangga di dataran tinggi, dan air biasanya didapat dari sumber air yang dialirkan menggunakan pancuran yang terletak pada bagian bawah lereng. Tidak semua keluarga atau rumah di dataran rendah memiliki sumur, misalnya di Desa Kolbano hanya terdapat 5 buah sumur dengan kedalaman 7-15 meter yang dimanfaatkan beberapa keluarga untuk memenuhi kebutuhan air bersih.

Satu buah sumur biasanya dipakai lebih dari 5 keluarga yang berdekatan. Kondisi ini disebabkan karena tanah yang keras dan bebatuan sehingga mengalami kesulitan dalam proses penggalian.  Kondisi yang sama terjadi di Desa Kualin, debit air sumur cenderung berkurang pada musim kemarau. Persoalan lain ketika musim penghujan adalah air sumur seringkali keruh, walaupun debit air mengalami peningkatan.

 Air sumur yang terletak di wilayah pesisir bagian selatan Kabupaten TTS yaitu Desa Kualin dan Kolbano terasa asin, hal ini mengindikasikan bahwa sumur masyarakat telah tercemar akibat intrusi air laut.  Selain sumur, masyarakat di daerah dataran rendah mendapatkan air dari leding dan bak penampung bantuan pemerintah, yang dapat ditemui di beberapa desa di Kecamatan Kualin dan Kolbano.

Lokasi leding dan bak penampung air umumnya terletak di tepi jalan raya, dengan sumber airnya berasal dari mata air di daerah sekitar Kecamatan Kuanfatu yang relatif lebih tinggi dari kedua kecamatan ini. Hasil observasi terhadap beberapa warga masyarakat, sebagian besar warga lebih memilih untuk memanfaatkan sumber air yang berasal dari Kecamatan Kuanfatu, dengan pertimbangan air lebih bersih dibandingkan dengan air dari sumber lain. Embung yang dibangun pemerintah atau bak penampung air hujan hanya bertahan dua bulan sesudah musim penghujan berakhir. 

Kecamatan Kualin dan Kecamatan Kolbano terdapat 5 lokasi leding yang tersebar di Desa Kiufatu, Oni, Tuapakas, Kualin (Kecamatan Kualin) dan Desa Kolbano (Kecamatan Kolbano). Leding ini digunakan untuk melayani kebutuhan air bersih masyarakat seluruh desa tersebut, dengan intensitas pemakaian yang tinggi sehingga menimbulkan antrean panjang di masing-masing lokasi terutama pada pagi dan sore hari. 

Karena terbatasnya sumber air, maka jarak yang ditempuh masyarakat untuk memperoleh air bervariasi. Masyarakat yang mengambil air dari sumur umumnya hanya menempuh jarak kurang dari 200 meter. Di Desa Kolbano sumber air leding di dekat Fatuoen (Kecamatan Kuanfatu) digunakan oleh hampir seluruh warga desa tersebut. Jarak ke lokasi + 4 km, yang membutuhkan waktu 2-3 jam berjalan kaki ke lokasi, termasuk menunggu antrean, sebelum kembali ke rumah dengan membawa 30-40 liter air.

Kondisi yang sama terjadi juga di desa lainnya.  Walaupun lokasi sumber air berupa leding dan sumur terbatas, namun akses untuk mencapai sumber air tidak sesulit seperti di daerah dataran tinggi. Lokasi sumber air umumnya berada di daerah datar dan dekat dengan jalan raya. Kegiatan pengambilan air biasanya dilakukan semua anggota keluarga termasuk anak-anak yang berusia 7 tahun ke atas.

Wadah yang dipakai warga untuk mengambil air umumnya berupa wadah plastik seperti jeriken minyak goreng volume 5 liter, ember plastik hingga jeriken besar yang bervolume 20 liter. Bagi warga yang dekat dengan lokasi, sekali pengambilan air dapat menampung air sekitar 10 liter sampai 20 liter. Umumnya kaum perempuan dan anakanak hanya dapat mengangkut air sebanyak 10 liter dengan menggunakan jeriken volume 5 liter.

 Sedangkan kaum pria dapat mengangkut sekaligus empat jeriken volume 5 liter dalam satu kali pengangkutan. Bagi warga yang mengangkut air dengan kendaraan roda dua, perolehan air biasanya lebih besar, berkisar 20 sampai 40 liter Setiap rumah tangga mengambil air sebanyak 20-40 liter/hari yang digunakan untuk air minum, memasak, mencuci piring, dan minum ternak. Mandi umumnya tidak dilakukan setiap hari atau hanya sekali sehari.

Air yang dipakai untuk kebutuhan buang air tidak terlalu besar, mengingat sebagian besar rumah menggunakan jamban cemplung dan belum menggunakan jamban leher angsa yang membutuhkan banyak air. Kegiatan mencuci pakaian dilakukan 1-2 kali/minggu. Bahkan penggunaan air dibatasi jika kemarau panjang seperti mandi hanya 2 kali/minggu dan mencuci pakaian sekali seminggu yang dilakukan di mata air atau sumber air berada. Pemakaian air diutamakan untuk kebutuhan primer seperti memasak dan minum. Rata-rata persediaan air bersih warga pada musim kemarau hanya sebanyak 10-20 liter dengan pemakaian mencapai 3 hari.

Untuk mengambil air bersih, masyarakat harus menempuh jarak ke mata air terdekat + 3 km dengan waktu tempuh 3-4 jam. Dalam sekali pengambilan, biasanya mendapatkan 30-40 liter air guna memenuhi kebutuhan satu keluarga (4-5 anggota keluarga) dalam satu hari tersebut, yang terbagi atas kebutuhan minum 10-20 liter, masak 10 liter, keperluan kakus 10 liter. Mandi hanya 2 kali dalam seminggu dan mencuci pakaian 2-3 kali seminggu di lokasi sumber air. Waktu pengambilan air dilakukan oleh semua anggota keluarga pada jam 06.00-09.00.

Ketika berangkat ke sekolah, anak-anak membawa jeriken 5-10 liter yang dimaksudkan ketika pulang sekolah dapat langsung mengambil air untuk dibawa pulang. Bahkan tidak jarang setiap hari bagi keluarga yang mampu secara ekonomi akan membeli air untuk keperluan minum dengan harga Rp 3.500 per 20 liter. Pemenuhan kebutuhan dasar air tersebut jauh di bawah standar WHO sebesar 20 liter per kapita per hari (Gleick, 1998) dan SDGs sebesar 50 liter per kapita per hari (Bates-Eamer et al ., 2015). 

Pada bulan September 2014 beberapa desa di Kecamatan Kualin dan Kolbano dinyatakan rawan pangan, termasuk pada bulan Juni 2015 wilayah Kualin, Kotolin, dan Amanuban Selatan mangalami rawan pangan akibat gagal panen. Untuk memenuhi kebutuhan air, banyak warga yang mempunyai kendaraan bermotor roda dua harus menempuh perjalanan lebih dari 5 kilometer ke sumber air yang masih memiliki air. Sumber air yang menjadi tujuan masyarakat terletak di berbagai lokasi, yaitu genangan yang terletak di pinggiran aliran sungai, dan yang keluar dari patahan bawah tanah.

Air ditimba dengan menggunakan gayung untuk mengisi jeriken. Akses ke lokasi cukup mudah, dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor. Biasanya warga Desa Kualin pergi ke arah Desa Panite (Kecamatan Amanuban Selatan) yang mempunyai persediaan air lebih banyak. Daerah Panite dan sekitarnya merupakan daerah persawahan yang dilewati oleh pertemuan 3 aliran sungai (sungai Nismoni, Leke, dan Besiam) yang menyatu dan bermuara ke laut, sehingga sumber air yang memiliki debit konstan mudah ditemukan.

Bagi warga yang tidak mempunyai kendaraan mereka berjalan sampai 3 km melalui jalan setapak yang tidak dapat dilalui oleh kendaraan bermotor untuk mencapai sumber air. Jika sebelumnya (sebelum musim kemarau dua tahun terakhir ini, 2014 dan 2015) warga bisa mendapatkan air di daerah yang lebih landai, kali ini mereka harus mengambil air di atas bukit yang cukup tinggi.  Beberapa warga yang berprofesi sebagai tukang ojek berjualan air dengan harga satu jeriken (20 liter) sebesar Rp 3.500.

Air diperoleh di daerah Panite dan beberapa sumber air di Kecamatan Kuanfatu. Walaupun cukup mahal, banyak warga yang terpaksa harus membeli karena tidak sanggup atau tidak sempat untuk mengambil sendiri, sedangkan pengadaan air oleh pemerintah tidak mencukupi. Bantuan air oleh pemerintah kabupaten yang dibawa dalam truk tangki oleh pemerintah daerah jarang dilakukan, paling banyak hanya 3 kali selama masa kekeringan. Bantuan air berasal dari Kecamatan Batu Putih yang berjarak 40-60 km dari lokasi.

Fenomena kelangkaan air terjadi di bagian selatan Kabupaten TTS dan hampir sebagian besar wilayah lainnya. Namun sebenarnya jika dilihat, sumber daya air yang berasal dari Gunung Mutis cukup melimpah. Gunung Mutis terletak di bagian utara Kabupaten TTS, masuk dalam wilayah Kecamatan Mollo Utara.

Gunung Mutis memiliki air permukaan yaitu mata air dengan kapasitas debit 300 liter/detik (Fanda & Indaryanto, 2008). Bahkan limpasan air dari sekitar Cagar Alam Gunung Mutis digunakan untuk mikro hidro, dan perusahaan air mineral “Mutisqua” dengan kapasitas produksi mencapai + 13.000 dos/bulan untuk kemasan gelas 220 ml dan + 1000 galon/bulan berukuran 19,8 liter (Balai Besar KSDA NTT, 2012). Air dari mata air Gunung Mutis ini digunakan oleh PDAM Kabupaten TTS untuk distribusi air bersih ke pelanggan di Kota Soe dan sekitarnya dengan menggunakan sistem pengaliran secara gravitasi.

Pemanfaatan jumlah debit air masih sangat rendah jika dibandingkan dengan jumlah debit air yang berasal dari sumber mata air, sehingga kebutuhan air masyarakat di Kota Soe tidak dapat terpenuhi secara menyeluruh. Aspek teknis pengelolaan air baku oleh PDAM Kabupaten TTS, mempunyai kelemahan pada jaringan transmisi dalam hal penyaluran air baku, tingkat kebocoran yang masih tinggi, dan kapasitas reservoar yang masih terbatas (Fanda & Indaryanto, 2008). 

Selain mata air dari Gunung Mutis, masyarakat menggunakan 35 mata air dengan debit air yang cukup besar yang tersebar di 32 kecamatan, 17 sumur bor yang tersebar di beberapa kecamatan dan mata air kecil lainnya. Dari hasil wawancara dengan narasumber dari ESDM Kabupaten TTS, secara perhitungan teknis, ketersediaan air di Kabupaten TTS dapat mencukupi kebutuhan masyarakat.

Namun permasalahan tata kelola yang buruk belum mampu mendistribusikan air secara merata kepada masyarakat. Rata-rata jumlah debit sumur bor sebesar 2 liter/detik. Namun sumur bor ini menghadapi dua kendala yaitu,
pertama , kebutuhan bahan bakar solar untuk menjalankan generator, yang berfungsi memompa air dari dalam tanah ke permukaan, tidak dapat selamanya dialokasikan dalam biaya operasional tahunan suku dinas terkait, di sisi lain, dari sudut pandang masyarakat, karena kondisi kemiskinan, mereka kesulitan mengumpulkan iuran bersama untuk membeli solar.
Kedua, struktur batuan gamping, batu pasir, serpih dan lempung mengakibatkan mudah terjadinya longsor ketika muka air tanah mengalami penurunan di musim kemarau. Penurunan ini akan merusak pompa air. Pernyataan dari narasumber ESDM Kabupaten TTS ini diperkuat dan didasarkan atas peta hidrogeologi wilayah Kupang dan Kafamenanu. Di samping struktur batuan gamping dan berpasir, potensi air di Kabupaten TTS tersebar, tidak terkonsentrasi pada wilayah tertentu, sehingga menyulitkan untuk eksplorasi. Pernyataan di atas bukan dalam konteks bahwa eksplorasi air mustahil untuk dilakukan, hal tersebut memungkinkan dilakukan, namun oleh karena pertimbangan anggaran dan perawatan berkala seperti yang terjadi di beberapa wilayah di mana sumur bor berada, maka program ini belum menjadi prioritas utama pemerintah daerah.

Program pemerintah daerah masih diarahkan untuk pemeliharaan sumber mata air dan berupaya melakukan konservasi di wilayah sekitar. Jika dilakukan simulasi untuk mengetahui apakah sumber air dari Gunung Mutis dapat memenuhi kebutuhan seluruh penduduk Kabupaten TTS, dengan perhitungan total jumlah penduduk dibagi dengan ketersediaan sumber daya air, maka didapatkan perhitungan sebagai berikut: total penduduk di Kabupaten TTS pada tahun 2013 sebesar 451.922 jiwa, dikalikan dengan kebutuhan air minimal 20 liter/orang/hari menurut standar WHO, maka kebutuhan air per kapita sebesar 9.038.440 liter/hari.

Debit air yang berasal dari Cagar Alam Gunung Mutis sebesar 300 liter/detik, maka dalam 12 jam saja mendapatkan air sebesar 12.960.000 liter. Dengan asumsi kehilangan air selama diperjalanan sebesar 30% karena faktor penguapan, kebocoran pipa dan faktor teknis lainnya, maka masih tersisa 9.072.000 liter air. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sumber daya air yang tersedia di wilayah Kabupaten TTS dapat mencukupi kebutuhan seluruh masyarakat hingga 40 liter/orang/hari. 
Kelangkaan manajerial terjadi karena sistem air tidak dikelola dengan baik. Jaringan distribusi air tidak dikelola secara baik dengan memanfaatkan sumber air yang ada, serta melakukan eksplorasi di wilayah yang memiliki potensi sumber daya air.

Kelangkaan politik dimana masyarakat tidak memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk mendorong pemerintah memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat. Seperti kasus, dimana wilayah yang diidentifikasi memiliki potensi air tidak dieksplorasi, bahkan beberapa titik sumur bor yang sudah dieksplorasi, tidak bisa langsung dimanfaatkan masyarakat. Hal ini disebabkan karena tarik-menarik antara pemerintah daerah dan masyarakat terkait kewenangan pengelolaan dan pemeliharaan sumur bor tersebut.

Belum terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat terhadap air bersih di Kabupaten TTS berdampak pada tingkat kesejahteraan mereka. Areal pertanian yang bergantung pada pasokan air tidak dapat terpenuhi akibat iklim (curah hujan rendah) dan distribusi air. Gagal panen dan kelaparan seperti yang terjadi pada tahun 2014 dan 2015 merupakan implikasi dari persoalan tersebut. Waktu, biaya, dan tenaga yang dikeluarkan untuk mendapatkan 40 liter air sangat tinggi, sehingga masyarakat tetap dalam kondisi miskin. Berpijak pada konsep Rogers e t a l ., (2010), yang menekankan pada perlunya integrasi lingkungan ke dalam pembangunan untuk mereduksi kemiskinan, melalui penyediaan infrastruktur air bersih dan membuka akses terhadap sumber daya air, diharapkan dapat mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat sehingga mampu mencapai pembangunan berkelanjutan. 
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa masyarakat di wilayah Timor Tengah Selatan tidak mengalami kelangkaan air yang disebabkan oleh faktor lingkungan, meskipun mereka tinggal di wilayah semi arid dengan wilayah berbatuan karang.
Kelangkaan yang dialami masyarakat adalah:
Pertama, kelangkaan ekonomi sesuai klasifikasi dari Molle dan Mollinga (2003) dan Seckler et al ., (1990), yaitu akses masyarakat terhadap sumber daya air terbatas karena persoalan tata kelola sumber daya air. Ketersediaan sumber daya air permukaan yang berasal dari kawasan hutan lindung Gunung Mutis sangat melimpah, sehingga dapat memenuhi seluruh kebutuhan air baku masyarakat sebesar 40 liter/kapita/hari.

Kedua, kelangkaan manajerial, persoalan teknis yaitu pipa distribusi air seringkali rusak karena tekanan air Gunung Mutis yang sangat tinggi, serta kontur wilayah berbukit-bukit menyulitkan distribusi ke seluruh wilayah TTS walaupun debit air mencukupi untuk seluruh masyarakat. Kondisi ini menyebabkan pelayanan distribusi air bersih oleh PDAM hanya untuk Kota Soe. Selain itu sumur bor yang tersebar di 32 kecamatan di Kabupaten TTS merupakan potensi sumber daya air yang bisa dikelola dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, dan melakukan eksplorasi sumber daya air di wilayah lain

 Referensi:
Air dan Konflik: Studi Kasus Kabupaten Timor Tengah Selatan
Jocom, H., Kameo, D.D., Utami, I., dan Kristijanto, A.I. (2016). Air dan Konflik: Studi Kasus Kabupaten Timor Tengah Selatan. Jurnal Ilmu Lingkungan. 14(1),51-61, doi:10.14710/jil.14.1.51-61
(PDF) Air dan Konflik: Studi Kasus Kabupaten Timor Tengah Selatan. Available from: https://www.researchgate.net/publication/308015042_Air_dan_Konflik_Studi_Kasus_Kabupaten_Timor_Tengah_Selatan [accessed Sep 12 2018].

Balai Besar KSDA NTT. 2012. http://ksdantt.blogspot.com
BAPPEDA Kabupaten Timor Tengah Selatan. 2014.
 “RPJMD Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan 2014-2019.”
 Soe. Bates-Eamer, Nicole, Barry Carin, Min Ha Lee, Wonhyuk Lim, and Mukesh Kapila. 2015.
“Post-2015 Development Agenda: Goals, Targets and Indicators.” Waterloo, Ontario, Canada. BPS Kabupaten Timor Tengah Selatan. 2014.
“Timor Tengah Selatan Dalam Angka 2014.” SoE. BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2014.
 “Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2014.” Kupang. Bringezu, Stefan, Helmut Schütz, Walter Pengue, Meghan O Brien, Fernando Garcia, Ralph Sims, Robert W Howarth, et al. 2014.
“Assessing Global Land Use: Balancing Consumption with Sustainable Supply.” Nairobi, Kenya. Ercin, A. Ertug, Mesfin M. Mekonnen, and Arjen Y. Hoekstra. 2013.
“Sustainability of National Consumption from a Water Resources Perspective: The Case Study for France.” Ecological Economics 88 (April): 133–47. doi:10.1016/j.ecolecon.2013.01.015.
Fanda, Agustinus Cornelis, and Hari Wiko Indaryanto. 2008.
“Strategi Peningkatan Pelayanan PDAM Kabupaten Timor Tengah Selatan Guna Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Masyarakat Kota So’e.” In Seminar Nasional Manajemen Teknologi VII , D-18-1-D-18-8. Surabaya: Program Studi MMT-ITS. FAO. 2012.
 “Coping with Water Scarcity An Action Framework for