Pembangunan
ekonomi dan lingkungan memiliki keterkaitan dengan pola konsumsi (Giddens,
2001: 612). Meningkatnya kesejahteraan suatu masyarakat berimplikasi pada
meningkatnya konsumsi, sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan. Pola
konsumsi tidak hanya menguras habis elemen sumber daya alam, akan tetapi
berkontribusi terhadap degradasi lingkungan melalui pembuangan limbah produksi
dan buangan gas emisi. Masyarakat miskin sebagai kelompok rentan menerima
dampak negatif dari kondisi ini karena tidak memiliki akses terhadap sumber
daya alam.
Untuk
itu perlu mengedepankan prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu pertumbuhan
ekonomi secara ideal memperhatikan proses daur ulang sumber daya alam daripada
menguras habis, dan meminimalisir tingkat pencemaran (Giddens, 2001: 611).
Integrasi pengambilan kebijakan penting untuk menyeimbangkan antara kebutuhan
ekonomi dan sosial masyarakat dengan kemampuan regeneratif lingkungan hidup
(Rogers et al ., 2010: 42).
Kabupaten
Timor Tengah Selatan (TTS) merupakan kabupaten dengan persentase penduduk
miskin urutan kelima dari dari 22 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur
(BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2014). Kabupaten TTS, memiliki iklim s e m i
a r i d
menurut klasifikasi Koppen (Kottek et al .,
2006), dengan curah hujan yang rendah antara 1.000-1.250 mm per tahun dan 1.000
– 2.000 mm per tahun.
Dari
32 kecamatan di Kabupaten TTS, hanya 4 kecamatan yang memiliki curah hujan
tertinggi 1.855 mm dan terendah 1.203 mm per tahun, sisanya hanya berkisar 900
mm hingga 476 mm per tahun, dengan hari hujan tertinggi 133 hari di Kecamatan
Mollo Utara dengan curah hujan mencapai 2.733 mm/tahun dan terendah sebesar 19
hari hujan di Kecamatan Mollo Selatan, (BPS Kabupaten Timor Tengah Selatan,
2014).
Kabupaten
TTS masuk dalam kategori wilayah yang mengalami kekeringan sepanjang tahun,
dengan demikian mengalami keterbatasan atau kelangkaan sumber daya air. Delapan
puluh enam persen (86%) masyarakat di Kabupaten TTS menggunakan mata air untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi dan domestik, sisanya menggunakan sumur atau
sungai. Masyarakat harus berjalan 3-4 km untuk mendapatkan 30-40 liter air
bersih.
Waktu
yang dibutuhkan untuk mendapatkan air berkisar antara 3-4 jam dengan antrean
panjang hanya untuk mendapatkan 40 liter air dari mata air, terutama di pagi
hingga siang hari. Ketika sumber air utama mengalami kekeringan, maka
masyarakat menggali di sekitar badan sungai atau di sungai yang kering dengan
kedalaman 1-1,5 meter untuk mendapatkan air, atau menggali di lokasi lain yang
menurut mereka akan mendapatkan air.
Wilayah
di Kabupaten Timor Tengah Selatan memiliki keunikan, yaitu wilayah di bagian
utara yang berdekatan dengan Gunung Mutis berlimpah air, seperti di Kecamatan
Fatumnasi, Nunbena, Tobu, Mollo Barat, Mollo Utara, dan wilayah berdekatan
lainnya. Sehingga di wilayah tersebut merupakan penghasil tanaman sayur,
buah-buahan dan padi, selain jagung yang masih mendominasi produk pertanian di
wilayah Timor Tengah Selatan.
Namun
di wilayah bagian selatan mengalami kekeringan sepanjang tahun. Misalnya bulan
Juni 2015, tiga kecamatan di Kabupaten TTS yaitu Kualin, Kotolin, dan Amanuban
Selatan dilanda kelaparan yang disebabkan karena dalam satu tahun, hujan hanya
turun 4 kali sehingga mengalami gagal tanam dan gagal panen. Kondisi kelaparan
seperti ini memaksa warga untuk mengonsumsi biji asam, sagu dari batang pohon
gewang (sejenis palem), dan jenis makanan lokal lain yang dapat dikonsumsi
(Kompas, 13 Juni 2015).
Kelangkaan Air
Definisi
dan Konsep Kelangkaan Air Kekurangan air di tingkat global mengindikasikan
situasi yang genting karena ketersediaan air tidak dapat memenuhi kebutuhan
atau permintaan pada decade mendatang (UNEP, 1999). Ketersediaan air yang
terbatas disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk dunia, peningkatan
konsumsi yang berimplikasi meningkatnya kebutuhan air berkisar 25% dan 57%
(Molle & Mollinga, 2003), baik untuk sektor pertanian, industri, dan air
bersih (Mekonnen & Hoekstra, 2011; SIDA, 2005; UNEP, 2012).
Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) memprediksi bahwa peningkatan jumlah populasi penduduk
dunia dari sekitar 7 miliar penduduk menjadi 9,6 miliar pada tahun 2050, dan
negara berkembang berkontribusi besar terhadap peningkatan jumlah penduduk
(+41%) (Bringezu et al ., 2014).
Dua
faktor lain yang menjadi penyebab meningkatnya kebutuhan air dalam kurun waktu
terakhir ini adalah: (1) pertumbuhan penduduk; (2) pertumbuhan industri; dan
(3) perluasan atau pengembangan irigasi pertanian (Shiklomanov, 1998; Richter
et al ., 2013). Tiga faktor tersebut dapat dirangkum ke dalam dua faktor
yaitu pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi (Shiklomanov, 1993).
Dengan
meningkatnya pertumbuhan penduduk maka akan mendorong peningkatan aktivitas
ekonomi yang berimplikasi pada penurunan daya dukung lingkungan, khususnya
sumber daya air. Sektor pertanian mengkonsumsi air terbesar yaitu mencapai
85%-90% dari konsumsi global blue water (Lawrence et al. , 2003; Mekonnen &
Hoekstra, 2011; Richter e t a l ., 2013; Shiklomanov, 1998; Sullivan, 2002;
UNESCO & Earthscan, 2009; UNESCO & WWAP, 2003, 2006; UNESCO, 2012) dengan demikian air memiliki peran vital
dalam penentuan hasil pertanian.
Fenomena
kelangkaan air dikategorikan menjadi dua yaitu permanen dan sementara yang
dihasilkan karena faktor lingkungan, aktivitas manusia, atau perpaduan dari dua
faktor tersebut (Pereira et al., 2009: 9-13). Menurutnya wilayah arid merupakan
kondisi permanen yang dihasilkan oleh alam, di mana kondisi iklim yang
menyebabkan ketersediaan sumber daya air sangat minim.
Sedangkan
faktor yang dihasilkan dari aktivitas manusia dalam bentuk penggundulan hutan,
eksplorasi tambang, perusakan tanah, ekploitasi sumber daya air besar-besaran,
berdampak pada kerusakan ekosistem dan menurunnya daya dukung lingkungan dalam
bentuk erosi dan intrusi air laut. Permasalahan ini yang kemudian memicu
konflik kepentingan antara industri, rumah tangga dan irigasi pertanian.
Kodoatie
dan Sjarief (2010) membagi pontensi Cadangan Air Tanah (CAT) berdasarkan pulau
di Indonesia seperti pada Tabel 3.1. Dari Tabel 3.1 nampak bahwa potensi air
tanah dan luas CAT di kepulauan paling banyak ditemukan di pulau besar,
sedangkan pulau kecil memiliki luas CAT yang sempit dengan potensi air tanah
yang sedikit, misalnya di wilayah Bali, NTB, dan NTT.
Persoalan
kelangkaan air telah meningkat dan menyebar hampir ke seluruh dunia. Richter etal.(2013) mendefinisikan kelangkaan air sebagai menurunnya ketersediaan
sumber air tawar, menurunnya jumlah air yang tersisa akibat pemanfaatan oleh
manusia dan daya dukung ekologi. Penurunan sumber air tawar sebagai hasil dari
konsumsi, ketika sebagian air yang diambil dari sumber air tidak dikembalikan
setelah digunakan, sehingga menguras habis sumbernya.
Dengan
kata lain air yang digunakan tidak kembali ke aquifer (air bawah tanah)
melainkan kembali atau mengalir ke permukaan. Atau air tersebut kembali ke
aquifer namun sudah dalam kondisi tercemar. Hal ini yang kemudian berdampak
pada kelangkaan air. Sedangkan pendekatan yang dilakukan oleh Molle dan
Mollinga (2003) dalam mendefinisikan kelangkaan air lebih pada kendala sebagai
faktor penyebab. Menurut mereka tidak mudah seDalam mengukur kelangkaan air,
ada lima jenis kendala yaitu:
P e r t a m a,
Kelangkaan
fisik , yaitu keterbatasan ketersediaan
air disebabkan oleh faktor alam. Situasi iklim kering atau semi arid dan padang
pasir, air hanya dapat ditemukan terbatas di beberapa sumur dan mata air.
Kedua,
Kelangkaan
ekonomi , ketidakmungkinan untuk memenuhi kebutuhan air karena faktor sumber
daya manusia yang harus menempuh perjalanan jauh ke sumur atau sumber air
terdekat, atau keuangan yang terbatas (membeli air) untuk mendapatkan akses
terhadap air.
Ketiga,
Kelangkaan
manajerial yang disebabkan oleh sistem tata kelola yang buruk sehingga
menyebabkan konsumen tidak mendapatkan pelayanan air secara memadai.
Keempat,
Kelangkaan
institusional , di mana lembaga gagal dalam memfasilitasi permintaan dan distribusi
air. Berkurangnya air karena faktor lingkungan tidak diantisipasi dengan
memanfaatkan teknologi dan inovasi; dan. Kelima, k elangkaan politik , adalah
kasus dimana seseorang atau masyarakat cara tegas dan eksplisit mendefinisikan
kelangkaan air .
Strategi Menghadapi Kelangkaan Air di
TTS
Budaya
pemanenan air dilakukan oleh masyarakat Timor ketika musim penghujan tiba
melalui beberapa cara, pertama dengan memanfaatkan jatuhnya air hujan dari atap
rumah yang ditampung di bak atau drum, pola ini hanya dilakukan oleh beberapa
orang yang rumahnya beratapkan seng (kebanyakan beratapkan alang-alang, daun
lontar dan daun kelapa). Kedua , menggunakan bak penampung yang bagian atas
menggunakan wadah penampung berbentuk kerucut, yang merupakan bantuan pemerintah
dan LSM atau swadaya masyarakat. Bak ini terletak di salah satu rumah warga dan
airnya kemudian dipakai oleh beberapa rumah tangga atau keluarga disekitarnya.
Air
di bak penampung ini hanya bertahan beberapa minggu selepas berakhirnya musim
penghujan. Ketiga , lubang penampung air yang rata-rata sedalam 2-3 meter di
rumah masing-masing penduduk. Air dari lubang penampung ini digunakan untuk
keperluan ternak dan menyirami tanaman. Keempat , menampung air hujan dengan
ember plastik, baskom, atau bejana tanah liat.
Air
ini digunakan untuk mandi, cuci, atau membersihkan rumah. Embung yang dibangun oleh pemerintah
merupakan upaya pemanenan air, namun air di dalam embung tidak dapat bertahan
lama karena tingkat evaporasi yang tinggi, erosi dan sedimentasi. Ketersediaan
air di dalam embung hanya bertahan beberapa bulan saja selepas musim penghujan.
Ketika puncak musim kemarau (Oktober-November) banyak embung menjadi kering
(BAPPEDA Kabupaten Timor Tengah Selatan, 2014)
Kebutuhan
air masyarakat karena pasokan sumber daya air yang dapat dieksplorasi terbatas.
Dari kondisi tersebut, rumah tangga menggunakan fasilitas air minum bersama dan
umum. Rumah tangga yang menggunakan fasilitas sendiri (privat) untuk pemenuhan
kebutuhan air minum hanya sebesar 7,30%, terbatas di wilayah perkotaan.
Curah
hujan yang rendah dan karakteristik daerah yang berbeda menyebabkan akses
terhadap setiap jenis sumber air berbeda antara rumah tangga di dataran tinggi
dan dataran rendah. Rumah tangga di dataran rendah umumnya dekat dengan sumur. Sumur
jarang terdapat pada rumah tangga di dataran tinggi, dan air biasanya didapat
dari sumber air yang dialirkan menggunakan pancuran yang terletak pada bagian
bawah lereng. Tidak semua keluarga atau rumah di dataran rendah memiliki sumur,
misalnya di Desa Kolbano hanya terdapat 5 buah sumur dengan kedalaman 7-15
meter yang dimanfaatkan beberapa keluarga untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
Satu
buah sumur biasanya dipakai lebih dari 5 keluarga yang berdekatan. Kondisi ini
disebabkan karena tanah yang keras dan bebatuan sehingga mengalami kesulitan
dalam proses penggalian. Kondisi yang
sama terjadi di Desa Kualin, debit air sumur cenderung berkurang pada musim
kemarau. Persoalan lain ketika musim penghujan adalah air sumur seringkali
keruh, walaupun debit air mengalami peningkatan.
Air sumur yang terletak di wilayah pesisir
bagian selatan Kabupaten TTS yaitu Desa Kualin dan Kolbano terasa asin, hal ini
mengindikasikan bahwa sumur masyarakat telah tercemar akibat intrusi air laut. Selain sumur, masyarakat di daerah dataran
rendah mendapatkan air dari leding dan bak penampung bantuan pemerintah, yang
dapat ditemui di beberapa desa di Kecamatan Kualin dan Kolbano.
Lokasi
leding dan bak penampung air umumnya terletak di tepi jalan raya, dengan sumber
airnya berasal dari mata air di daerah sekitar Kecamatan Kuanfatu yang relatif
lebih tinggi dari kedua kecamatan ini. Hasil observasi terhadap beberapa warga
masyarakat, sebagian besar warga lebih memilih untuk memanfaatkan sumber air
yang berasal dari Kecamatan Kuanfatu, dengan pertimbangan air lebih bersih
dibandingkan dengan air dari sumber lain. Embung yang dibangun pemerintah atau
bak penampung air hujan hanya bertahan dua bulan sesudah musim penghujan
berakhir.
Kecamatan
Kualin dan Kecamatan Kolbano terdapat 5 lokasi leding yang tersebar di Desa
Kiufatu, Oni, Tuapakas, Kualin (Kecamatan Kualin) dan Desa Kolbano (Kecamatan
Kolbano). Leding ini digunakan untuk melayani kebutuhan air bersih masyarakat
seluruh desa tersebut, dengan intensitas pemakaian yang tinggi sehingga
menimbulkan antrean panjang di masing-masing lokasi terutama pada pagi dan sore
hari.
Karena
terbatasnya sumber air, maka jarak yang ditempuh masyarakat untuk memperoleh
air bervariasi. Masyarakat yang mengambil air dari sumur umumnya hanya menempuh
jarak kurang dari 200 meter. Di Desa Kolbano sumber air leding di dekat Fatuoen
(Kecamatan Kuanfatu) digunakan oleh hampir seluruh warga desa tersebut. Jarak
ke lokasi + 4 km, yang membutuhkan waktu 2-3 jam berjalan kaki ke lokasi,
termasuk menunggu antrean, sebelum kembali ke rumah dengan membawa 30-40 liter
air.
Kondisi
yang sama terjadi juga di desa lainnya.
Walaupun lokasi sumber air berupa leding dan sumur terbatas, namun akses
untuk mencapai sumber air tidak sesulit seperti di daerah dataran tinggi.
Lokasi sumber air umumnya berada di daerah datar dan dekat dengan jalan raya.
Kegiatan pengambilan air biasanya dilakukan semua anggota keluarga termasuk
anak-anak yang berusia 7 tahun ke atas.
Wadah
yang dipakai warga untuk mengambil air umumnya berupa wadah plastik seperti
jeriken minyak goreng volume 5 liter, ember plastik hingga jeriken besar yang
bervolume 20 liter. Bagi warga yang dekat dengan lokasi, sekali pengambilan air
dapat menampung air sekitar 10 liter sampai 20 liter. Umumnya kaum perempuan
dan anakanak hanya dapat mengangkut air sebanyak 10 liter dengan menggunakan
jeriken volume 5 liter.
Sedangkan kaum pria dapat mengangkut sekaligus
empat jeriken volume 5 liter dalam satu kali pengangkutan. Bagi warga yang
mengangkut air dengan kendaraan roda dua, perolehan air biasanya lebih besar,
berkisar 20 sampai 40 liter Setiap rumah tangga mengambil air sebanyak 20-40
liter/hari yang digunakan untuk air minum, memasak, mencuci piring, dan minum
ternak. Mandi umumnya tidak dilakukan setiap hari atau hanya sekali sehari.
Air
yang dipakai untuk kebutuhan buang air tidak terlalu besar, mengingat sebagian
besar rumah menggunakan jamban cemplung dan belum menggunakan jamban leher
angsa yang membutuhkan banyak air. Kegiatan mencuci pakaian dilakukan 1-2
kali/minggu. Bahkan penggunaan air dibatasi jika kemarau panjang seperti mandi
hanya 2 kali/minggu dan mencuci pakaian sekali seminggu yang dilakukan di mata
air atau sumber air berada. Pemakaian air diutamakan untuk kebutuhan primer
seperti memasak dan minum. Rata-rata persediaan air bersih warga pada musim
kemarau hanya sebanyak 10-20 liter dengan pemakaian mencapai 3 hari.
Untuk
mengambil air bersih, masyarakat harus menempuh jarak ke mata air terdekat + 3
km dengan waktu tempuh 3-4 jam. Dalam sekali pengambilan, biasanya mendapatkan
30-40 liter air guna memenuhi kebutuhan satu keluarga (4-5 anggota keluarga)
dalam satu hari tersebut, yang terbagi atas kebutuhan minum 10-20 liter, masak
10 liter, keperluan kakus 10 liter. Mandi hanya 2 kali dalam seminggu dan
mencuci pakaian 2-3 kali seminggu di lokasi sumber air. Waktu pengambilan air
dilakukan oleh semua anggota keluarga pada jam 06.00-09.00.
Ketika
berangkat ke sekolah, anak-anak membawa jeriken 5-10 liter yang dimaksudkan
ketika pulang sekolah dapat langsung mengambil air untuk dibawa pulang. Bahkan
tidak jarang setiap hari bagi keluarga yang mampu secara ekonomi akan membeli
air untuk keperluan minum dengan harga Rp 3.500 per 20 liter. Pemenuhan
kebutuhan dasar air tersebut jauh di bawah standar WHO sebesar 20 liter per
kapita per hari (Gleick, 1998) dan SDGs sebesar 50 liter per kapita per hari
(Bates-Eamer et al ., 2015).
Pada
bulan September 2014 beberapa desa di Kecamatan Kualin dan Kolbano dinyatakan
rawan pangan, termasuk pada bulan Juni 2015 wilayah Kualin, Kotolin, dan
Amanuban Selatan mangalami rawan pangan akibat gagal panen. Untuk memenuhi
kebutuhan air, banyak warga yang mempunyai kendaraan bermotor roda dua harus
menempuh perjalanan lebih dari 5 kilometer ke sumber air yang masih memiliki
air. Sumber air yang menjadi tujuan masyarakat terletak di berbagai lokasi,
yaitu genangan yang terletak di pinggiran aliran sungai, dan yang keluar dari
patahan bawah tanah.
Air
ditimba dengan menggunakan gayung untuk mengisi jeriken. Akses ke lokasi cukup
mudah, dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor.
Biasanya warga Desa Kualin pergi ke arah Desa Panite (Kecamatan Amanuban
Selatan) yang mempunyai persediaan air lebih banyak. Daerah Panite dan
sekitarnya merupakan daerah persawahan yang dilewati oleh pertemuan 3 aliran
sungai (sungai Nismoni, Leke, dan Besiam) yang menyatu dan bermuara ke laut,
sehingga sumber air yang memiliki debit konstan mudah ditemukan.
Bagi
warga yang tidak mempunyai kendaraan mereka berjalan sampai 3 km melalui jalan
setapak yang tidak dapat dilalui oleh kendaraan bermotor untuk mencapai sumber
air. Jika sebelumnya (sebelum musim kemarau dua tahun terakhir ini, 2014 dan
2015) warga bisa mendapatkan air di daerah yang lebih landai, kali ini mereka
harus mengambil air di atas bukit yang cukup tinggi. Beberapa warga yang berprofesi sebagai tukang
ojek berjualan air dengan harga satu jeriken (20 liter) sebesar Rp 3.500.
Air
diperoleh di daerah Panite dan beberapa sumber air di Kecamatan Kuanfatu. Walaupun
cukup mahal, banyak warga yang terpaksa harus membeli karena tidak sanggup atau
tidak sempat untuk mengambil sendiri, sedangkan pengadaan air oleh pemerintah
tidak mencukupi. Bantuan air oleh pemerintah kabupaten yang dibawa dalam truk
tangki oleh pemerintah daerah jarang dilakukan, paling banyak hanya 3 kali
selama masa kekeringan. Bantuan air berasal dari Kecamatan Batu Putih yang
berjarak 40-60 km dari lokasi.
Fenomena
kelangkaan air terjadi di bagian selatan Kabupaten TTS dan hampir sebagian besar
wilayah lainnya. Namun sebenarnya jika dilihat, sumber daya air yang berasal
dari Gunung Mutis cukup melimpah. Gunung Mutis terletak di bagian utara
Kabupaten TTS, masuk dalam wilayah Kecamatan Mollo Utara.
Gunung
Mutis memiliki air permukaan yaitu mata air dengan kapasitas debit 300
liter/detik (Fanda & Indaryanto, 2008). Bahkan limpasan air dari sekitar
Cagar Alam Gunung Mutis digunakan untuk mikro hidro, dan perusahaan air mineral
“Mutisqua” dengan kapasitas produksi mencapai + 13.000 dos/bulan untuk kemasan
gelas 220 ml dan + 1000 galon/bulan berukuran 19,8 liter (Balai Besar KSDA NTT,
2012). Air dari mata air Gunung Mutis ini digunakan oleh PDAM Kabupaten TTS
untuk distribusi air bersih ke pelanggan di Kota Soe dan sekitarnya dengan
menggunakan sistem pengaliran secara gravitasi.
Pemanfaatan
jumlah debit air masih sangat rendah jika dibandingkan dengan jumlah debit air
yang berasal dari sumber mata air, sehingga kebutuhan air masyarakat di Kota
Soe tidak dapat terpenuhi secara menyeluruh. Aspek teknis pengelolaan air baku
oleh PDAM Kabupaten TTS, mempunyai kelemahan pada jaringan transmisi dalam hal
penyaluran air baku, tingkat kebocoran yang masih tinggi, dan kapasitas
reservoar yang masih terbatas (Fanda & Indaryanto, 2008).
Selain
mata air dari Gunung Mutis, masyarakat menggunakan 35 mata air dengan debit air
yang cukup besar yang tersebar di 32 kecamatan, 17 sumur bor yang tersebar di
beberapa kecamatan dan mata air kecil lainnya. Dari hasil wawancara dengan
narasumber dari ESDM Kabupaten TTS, secara perhitungan teknis, ketersediaan air
di Kabupaten TTS dapat mencukupi kebutuhan masyarakat.
Namun
permasalahan tata kelola yang buruk belum mampu mendistribusikan air secara
merata kepada masyarakat. Rata-rata jumlah debit sumur bor sebesar 2
liter/detik. Namun sumur bor ini menghadapi dua kendala yaitu,
pertama , kebutuhan bahan bakar solar untuk
menjalankan generator, yang berfungsi memompa air dari dalam tanah ke
permukaan, tidak dapat selamanya dialokasikan dalam biaya operasional tahunan
suku dinas terkait, di sisi lain, dari sudut pandang masyarakat, karena kondisi
kemiskinan, mereka kesulitan mengumpulkan iuran bersama untuk membeli solar.
Kedua, struktur batuan gamping, batu pasir,
serpih dan lempung mengakibatkan mudah terjadinya longsor ketika muka air tanah
mengalami penurunan di musim kemarau. Penurunan ini akan merusak pompa air.
Pernyataan dari narasumber ESDM Kabupaten TTS ini diperkuat dan didasarkan atas
peta hidrogeologi wilayah Kupang dan Kafamenanu. Di samping struktur batuan
gamping dan berpasir, potensi air di Kabupaten TTS tersebar, tidak
terkonsentrasi pada wilayah tertentu, sehingga menyulitkan untuk eksplorasi.
Pernyataan di atas bukan dalam konteks bahwa eksplorasi air mustahil untuk
dilakukan, hal tersebut memungkinkan dilakukan, namun oleh karena pertimbangan
anggaran dan perawatan berkala seperti yang terjadi di beberapa wilayah di mana
sumur bor berada, maka program ini belum menjadi prioritas utama pemerintah
daerah.
Program
pemerintah daerah masih diarahkan untuk pemeliharaan sumber mata air dan
berupaya melakukan konservasi di wilayah sekitar. Jika dilakukan simulasi untuk
mengetahui apakah sumber air dari Gunung Mutis dapat memenuhi kebutuhan seluruh
penduduk Kabupaten TTS, dengan perhitungan total jumlah penduduk dibagi dengan
ketersediaan sumber daya air, maka didapatkan perhitungan sebagai berikut:
total penduduk di Kabupaten TTS pada tahun 2013 sebesar 451.922 jiwa, dikalikan
dengan kebutuhan air minimal 20 liter/orang/hari menurut standar WHO, maka
kebutuhan air per kapita sebesar 9.038.440 liter/hari.
Debit
air yang berasal dari Cagar Alam Gunung Mutis sebesar 300 liter/detik, maka
dalam 12 jam saja mendapatkan air sebesar 12.960.000 liter. Dengan asumsi
kehilangan air selama diperjalanan sebesar 30% karena faktor penguapan,
kebocoran pipa dan faktor teknis lainnya, maka masih tersisa 9.072.000 liter
air. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sumber daya air yang tersedia di wilayah
Kabupaten TTS dapat mencukupi kebutuhan seluruh masyarakat hingga 40
liter/orang/hari.
Kelangkaan
manajerial terjadi karena sistem air tidak dikelola dengan baik. Jaringan
distribusi air tidak dikelola secara baik dengan memanfaatkan sumber air yang
ada, serta melakukan eksplorasi di wilayah yang memiliki potensi sumber daya
air.
Kelangkaan
politik dimana masyarakat tidak memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk
mendorong pemerintah memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat. Seperti kasus,
dimana wilayah yang diidentifikasi memiliki potensi air tidak dieksplorasi,
bahkan beberapa titik sumur bor yang sudah dieksplorasi, tidak bisa langsung
dimanfaatkan masyarakat. Hal ini disebabkan karena tarik-menarik antara
pemerintah daerah dan masyarakat terkait kewenangan pengelolaan dan
pemeliharaan sumur bor tersebut.
Belum
terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat terhadap air bersih di Kabupaten TTS
berdampak pada tingkat kesejahteraan mereka. Areal pertanian yang bergantung
pada pasokan air tidak dapat terpenuhi akibat iklim (curah hujan rendah) dan
distribusi air. Gagal panen dan kelaparan seperti yang terjadi pada tahun 2014
dan 2015 merupakan implikasi dari persoalan tersebut. Waktu, biaya, dan tenaga
yang dikeluarkan untuk mendapatkan 40 liter air sangat tinggi, sehingga
masyarakat tetap dalam kondisi miskin. Berpijak pada konsep Rogers e t a l .,
(2010), yang menekankan pada perlunya integrasi lingkungan ke dalam pembangunan
untuk mereduksi kemiskinan, melalui penyediaan infrastruktur air bersih dan
membuka akses terhadap sumber daya air, diharapkan dapat mendorong peningkatan
taraf hidup masyarakat sehingga mampu mencapai pembangunan berkelanjutan.
Kesimpulan
Dari
pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa masyarakat di wilayah
Timor Tengah Selatan tidak mengalami kelangkaan air yang disebabkan oleh faktor
lingkungan, meskipun mereka tinggal di wilayah semi arid dengan wilayah
berbatuan karang.
Kelangkaan
yang dialami masyarakat adalah:
Pertama, kelangkaan ekonomi sesuai klasifikasi
dari Molle dan Mollinga (2003) dan Seckler et al ., (1990), yaitu akses
masyarakat terhadap sumber daya air terbatas karena persoalan tata kelola
sumber daya air. Ketersediaan sumber daya air permukaan yang berasal dari
kawasan hutan lindung Gunung Mutis sangat melimpah, sehingga dapat memenuhi
seluruh kebutuhan air baku masyarakat sebesar 40 liter/kapita/hari.
Kedua, kelangkaan manajerial, persoalan
teknis yaitu pipa distribusi air seringkali rusak karena tekanan air Gunung
Mutis yang sangat tinggi, serta kontur wilayah berbukit-bukit menyulitkan
distribusi ke seluruh wilayah TTS walaupun debit air mencukupi untuk seluruh
masyarakat. Kondisi ini menyebabkan pelayanan distribusi air bersih oleh PDAM
hanya untuk Kota Soe. Selain itu sumur bor yang tersebar di 32 kecamatan di
Kabupaten TTS merupakan potensi sumber daya air yang bisa dikelola dan
dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, dan melakukan eksplorasi sumber
daya air di wilayah lain
Referensi:
Air dan Konflik: Studi Kasus Kabupaten Timor Tengah Selatan
Jocom, H., Kameo, D.D., Utami, I., dan Kristijanto, A.I. (2016). Air dan
Konflik: Studi Kasus Kabupaten Timor Tengah Selatan. Jurnal Ilmu Lingkungan.
14(1),51-61, doi:10.14710/jil.14.1.51-61
(PDF) Air dan Konflik: Studi Kasus Kabupaten Timor Tengah Selatan. Available from: https://www.researchgate.net/publication/308015042_Air_dan_Konflik_Studi_Kasus_Kabupaten_Timor_Tengah_Selatan [accessed Sep 12 2018].
(PDF) Air dan Konflik: Studi Kasus Kabupaten Timor Tengah Selatan. Available from: https://www.researchgate.net/publication/308015042_Air_dan_Konflik_Studi_Kasus_Kabupaten_Timor_Tengah_Selatan [accessed Sep 12 2018].
Balai
Besar KSDA NTT. 2012. http://ksdantt.blogspot.com
BAPPEDA
Kabupaten Timor Tengah Selatan. 2014.
“RPJMD Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan
2014-2019.”
Soe. Bates-Eamer, Nicole, Barry Carin, Min Ha
Lee, Wonhyuk Lim, and Mukesh Kapila. 2015.
“Post-2015
Development Agenda: Goals, Targets and Indicators.” Waterloo, Ontario, Canada.
BPS Kabupaten Timor Tengah Selatan. 2014.
“Timor
Tengah Selatan Dalam Angka 2014.” SoE. BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2014.
“Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2014.”
Kupang. Bringezu, Stefan, Helmut Schütz, Walter Pengue, Meghan O Brien,
Fernando Garcia, Ralph Sims, Robert W Howarth, et al. 2014.
“Assessing
Global Land Use: Balancing Consumption with Sustainable Supply.” Nairobi,
Kenya. Ercin, A. Ertug, Mesfin M. Mekonnen, and Arjen Y. Hoekstra. 2013.
“Sustainability
of National Consumption from a Water Resources Perspective: The Case Study for
France.” Ecological Economics 88 (April): 133–47.
doi:10.1016/j.ecolecon.2013.01.015.
Fanda,
Agustinus Cornelis, and Hari Wiko Indaryanto. 2008.
“Strategi
Peningkatan Pelayanan PDAM Kabupaten Timor Tengah Selatan Guna Pemenuhan
Kebutuhan Air Bersih Masyarakat Kota So’e.” In Seminar Nasional Manajemen
Teknologi VII , D-18-1-D-18-8. Surabaya: Program Studi MMT-ITS. FAO. 2012.
“Coping with Water Scarcity An Action
Framework for
No comments:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan pesan